Sabtu, 07 Juni 2014

Tenaga Kerja Ke Luar Negeri



Pengamat: Tenaga Kerja Harus Mahir Berbahasa Asing

Kamis, 27 Maret 2014 07:52 WIB
 
Pengamat dari Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH 
TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA - Semua tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri sejatinya harus mahir berbahasa negara di mana mereka ditempatkan, sehingga terjalin hubungan harmonis antara pekerja dan majikan, kata seorang pengamat di Palangkaraya
Prof Norsanie Darlan dalam surat elektroniknya yang dikirim kepada Antara mengatakan, bahasa negara tujuan pengiriman tenaga kerja perlu diajarkan karena bahasa merupakan alat komunikasi yang seharusnya dimiliki tenaga kerja.
"Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri tentu tidak semata pemberian keterampilan kerja saja, tapi juga terampil berbahasa. Kalau diumpamakan ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bagaimana berkomunikasi dengan majikannya tanpa mahir berbahasa," katanya.
Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalimantan Tengah itu mengatakan, bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif dalam kehidupan, termasuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, apalagi menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015.
Oleh karena itu, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri sejatinya perlu dibekali keterampilan berbahasa negara di mana mereka akan ditempatkan sehingga terjalin komunikasi yang efektif antara pekerja dengan majikannya.
"Bahasa itu menentukan sukses tidaknya dalam bekerja. Tanpa penguasaan bahasa yang baik, tentu saja apa yang diperintah majikan bisa salah, dan akibat itulah salah satu awal munculnya perselisihan antara tenaga kerja dengan majikan," ujarnya.
Guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) itu mengatakan, bila tenaga kerja berkomunikasi dalam bahasa negara di mana mereka bekerja tentu berbagai kasus yang selama ini terjadi dapat dihindari, termasuk kasus Satinah yang sekarang diujung pancung tersebut.
Terkait dengan nasiba Satinah, Norsanie mengharapkan semua pihak peduli dan ikut mencari solusi karena masalah ini tidak terlepas dari masa depan tenaga kerja Indonesia yang kini bekerja di sejumlah negara di dunia.
Kasus yang sedang dihadapi Satinah perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pemerintah karena menyangkut dengan nasib Satinah-Satinah lain yang sekarang bekerja di berbagai negara. Kasus ini juga menyayat perasaan hati anak bangsa, ujarnya.
"Saya setuju bila tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri berpendidikan tinggi. Kesarjanaan mereka bekerja pada tempatnya pasti dihargai, asal mereka betul-betul terampil dengan bidang kesarjanaannya," demikian Prof Norsani Darlan

Kamis, 05 Juni 2014

MENGENALI SIAPA PAMONG ITU

MENGENALI SIAPA SEBENARNYA PAMONG BELAJAR ITU ?
Oleh:
H.M.Norsanie Darlan

Banyak orang tidak mngerti apa sebetulnya dan siapa itu yang disebut Pamong Belajar? jawabnya tidak begitu sulit, yaitu: Pamong Belajar sebetulnya juga Guru. Tapi karena tugasnya pada bidang pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) yang membantu masyarakat yang masih belum tuntas dalam belajar formal.
Pamong Belajar itu, ia adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki nomor induk pegawai (NIP) masa lalu diberikan nip 130 kini sudah berubah. Pamong Belajar berdasarkan aturan yang sesuai dengan peraturannya, ia seorang sarjana pendidikan luar sekolah (PLS). namun masa di orde reformasi sekarang sepertinya kurang memperhatikan hal itu. efeknya banyak terjadi kesulitan bagi Pamong Belajar itu dalam upaya kenaikan pangkatnya. karena mereka tidak berlatar belakang sarjana PLS, banyak hal yang mereka tidak ketahui. misalnya dalam menjalankan tugas   di sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di kabupaten/kota, Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (BPPNFI) baik ditingkat provinsi maupun regional.
Kendala yang mereka hadapi Pamong Belajar adalah, bagi yang berasal dari guru formal, yang  dibekali dengan pendidikan paedagogi. sementara jika kita cari yang berdasarkan konsep sebenarnya Pamong Belajar adalah mendidik orang dewasa. Maka seorang Pamong Belajar harus banyak tahu apa sebenarnya pendidikan andragogi. Dengan demikian Pamong Belajar yang berlatar belakang non sarjana PLS tentu kesulitan dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai jabatan fungsional non formal. Kenapa ? karena sejak awal mereka belajar di pendidikan tinggi, tidak banyak mengerti apa itu pendidikan andragogi. Kalau juga tahu sangat minim. Sehingga orang dewasa yang mereka hadapi tidak semudah para sarjana PLS dalam mengajar orang dewasa dengan memperhatikan elastisitas dalam hal-hal tertentu. Nah bagaimana kalau Pamong Belajar tidak pernah di didik pada teori-teiro andragogi. Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan.
Berdasarkan pengalaman penelitian yang pernah saya di berbagai SKB tentang tupoksi Pamong Belajar. Kendala mereka hadapi kesulitan dalam hal naik pangkat. Sebab sejumlah Pamong Belajar yang sarjana non PLS dalam proses kenaikan pangkatnya terhambat. Karena di masyarakat ia jika membuat kelompok belajar pada orang dewasa sulit dalam berhadapan dengan calon warga belajar (WB) karena sudah terbiasa pada pendidikan formal di sekolah murid sudah tersedia, gedung sudah ada, materi belajar sudah disiapkan dll. Sekarang bagaimana jika membuat kelompok belajar di masyarakat bagi Pamong Belajar: yang non formal itu belum ada tempat / ruang belajar. Warga Belajarnya (WB) atau siswanya di mana? materi belajarnya terkadang tidak ada di toko buku seperti di sekolah formal. Sehingga tutor (guru) harus tahu persis merancang bangun dan rekayasa bahan ajar. kalau hanya paket A, B dan C sudah tersedia secara nasional. yang lain maanaaa. kalau ia sarjana PLS sejak semester 3 mereka secara tidak sengaja sudah dilatih untuk mempraktekkan hal seperti itu. sampai ia praktek di laburatorium PLS.
Jadi dengan demikian untuk mengenali yang betul-betul Pamong Belajar, mereka pasti tahu mengatasi hal-hal seperti diuraikan di atas. sebab seorang Pamong Belajar pasti dituntut kreativitas dalam merancang bangun dan rekayasa pendidikan orang dewasa.
Pamong Belajar juga harus tahu memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan bagaimana menyiapakan sumber daya manusia (SDM) yang mampu menciptakan lingkungan yang semula bagi masyarakat tidak berguna. Tapi dengan kreativitas Pamong Belajar ia harus bisa memanfaatkan ke pamongannya dalam proses belajar membelajarkan warga masyarakat. artinya dalam kata/istilah lain Pamong Belajar harus bisa memanusiakan manusia. Itulah yang sebenarnya Pamong Belajar yang murni dan dinantikan masyarakat.
Sayangnya Pamong Belajar berdasarkan peraturan Kepegawaian, kepangkatannya hanya sampai pada golongan IV/c. Kenapa itu perlu kita kaji, kenapa demikian.
Dipihak lain dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebagai temuan lain, selain kesulitan naik pangkat (karena latar belakang non PLS), juga Pamong Belajar yang di BPPNFI dalam merancang bangun dan rekayasa materi pembelajaran. Padahal mereka di BPPNFI baik tingkat provinsi maupun Regional yang bisa mewujudkan pengembangan pendidikan non formal maupun Informal. hal ini perlu juga pengkajian lebih lanjut. Apakah yang menyebabkan mereka kurang tertatik dalam pengembangan pendidikan itu. 
Prof. Dr. H.M. Norsanie Darlan, MS PH Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya.

Harian Images/KOMPAS/PRIYOMBODO, 29 April 2013



Dua Harga BBM Sulitkan Pengawasan

BANJARMASIN, KOMPAS.com –
Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, bila pemerintah memberlakukan dua harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda, maka pengawasan akan  makin sulit.
Sebagai contoh pengangkutan BBM untuk daerah pedalaman, seperti di Kalimantan masih banyak menggunakan angkutan sungai, sehingga sulit melakukan pengawasan, lanjut dosen Unpar tersebut kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Senin.
"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan. Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di daerah pedalaman," ujarnya.
Sedangkan aparat keamanan tak mungkin melakukan pengawasan terus menerus atau dalam jangka panjang, karena banyak pula tugas lain yang menjadi tanggung jawab mereka, lanjutnya.
Ia mencontohkan bentuk penyimpangan peruntukan, yaitu sebuah angkutan umum yang tidak beraktivitas/tak mengangkut penumpang, mengatre di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Namun BBM itu dia jual dengan harga non subsidi.
"Nah, mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," ujarnya.
Selain itu, dengan dua harga BBM yang berbeda, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, baik di perkotaan maupun daerah pedalaman, tambah Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di "Bumi Isen Mulang" Kalimantan Tengah (Kalteng) tersebut.
Oleh karenanya, anak desa Anjir Kapuas, Kalteng yang meniti karir dari pegawai bawahan (pesuruh) hingga menjadi profesor itu, menyarankan, sebaiknya harga BBM disamakan saja atau ada perbedaan.
Sebagai contoh rencana penetapan harga BBM per liter untuk mobil pribadi Rp  6.500 dan sepedamotor atau angkutan penumpang umum Rp4.500, lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemprov Kalteng itu.
Sebab itu pula, mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dari "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut sependapat atau setuju kalau pemerintah menaikan harga BBM dengan batas-batas kewajaran, sehingga cuma ada satu jenis harga.
"Penetapan satu harga BBM tersebut, guna memudahkan pengawasan serta menghindari kecemburua sosial yang bisa berunjung pada hal-hal yang tak kita inginkan bersama," demikian Norsanie Darlan.

Dibaca: 2318

Selasa, 03 Juni 2014

sumber: dutamasyarakat.com



Berita Pendidikan  28 Oktober 2009

Fokus Pendidikan Non-Formal


 



Breaking News



Pengamat : 

Keliru Menganggap Pamong Pamong Belajar Itu 

Kerjanya Santai


Sabtu, 24/05/2014 - 13:04 WIB
RIMANEWS - Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH dari Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalimantan Tengah berpendapat, keliru kalau ada yang menganggap pamong belajar itu kerjanya santai.
"Memang dari hasil penelitian ada anggapan bahwa pamong belajar terlihat lebih santai dibandingkan tenaga guru," ungkap akademis perguruan tinggi negeri tertua di "Bumi Isen Mulang" Kalimantan Tengah itu kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Sabtu (24/5).
Padahal hasil penelitian juga mengungkapkan, kiprah pamong belajar dalam menjalankan tupoksi pada Pendidikan Luar Sekolah (PLS) mengurangi berbagai hal yang berkenaan dengan masalah pamong belajar, baik di Kalteng maupun di tanah air ini.
"Walau guru dan pamong belajar sama-sama tugas mengajar. Tapi kalau kita cermatai ada beda yang sangat bermakna terhadap sasaran didiknya," ujar dosen pascasarjana PLS tersebut.
Ia menerangkan, untuk guru di sekolah formal, mereka menerapkan teori-teori yang berkenaan dengan paedagogik.
"Sebaliknya para pamong belajar sulit kalau menerapkan teori itu, karena sasaran mereka adalah orang dewasa, tentu lebih mengutamakan teori andragogik atau dalam materi kuliah di PLS pendidikan orang dewasa (POD)," ujarnya.
Pamong belajar di Badan Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informasl (BP2NFI) sangat terkait dengan tugas lebih dibanding mereka yang juga pamong belajar, tapi di sanggar kegiatan belajar (SKB).
"Sebab pamong belajar di provinsi dan regional, harus berada setingkat lebih tinggi, karena harus ada upaya-upaya pengembangan bahan belajar. Pengembagan bahan belajar yang harusnya diterapkan, tentu melakukan berbagai eksperimen," demikian Norsanie.(Juft)