Selasa, 15 April 2014

Makalah di BP2PNFI Regional IV Kalimantan



IMPLEMENTASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBELAJARAN

Paparan Dalam Workshop Pengembangan Pembelajaran PAUD Berbasis Kearifan
Lokal Untuk Penguatan Karakter Anak Usia Dini

Oleh:
Prof. H.M. Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya

Pendahuluan
Pendidikan Anak Usia Dini, sebenarnya di dunia sudah berkembang sejak Abad ke 18.  John Comenius (1592-1670), mengembangkannya,  dan Jean jacques Rousseau yang hidup pada tahun (1712-1778) ia menuangkan pikirannya tentang PAUD dalam novelnya Emile. Demikian juga Johann Heinrick Pestalozzi (1747-1827)   Pendidikan TK pada saat itu lebih bersifat keagamaan. Beberapa TK yang tercatat seperti Ammon School di Amerika Serikat dan Orbelin “Knitting Schools” di Francis masih menekankan pada pembelajaran membaca, terutama membaca kitab suci. Oleh karena itu menurut: Spondek, (1986) bahwa:”...taman kanak-kanak di amerika dibawah pengawasan tutor dan tes pemahaman anak didasarkan atas tingkat pemahaman.
Dalam Abad ke 19 dapat kita lihat salah satu tokohnya pendiri taman kanak-kanak yang tenar pada abad ini adalah Friedrich Wilheim Froebel (1782-1852). Froebel pernah belajar pada pestalozzi. Ia mendirikan kindegarten (kinder = anak dan garten = taman) di Jerman pada tahun 1837).
Tokoh lain Robert owen yang hidup antara (1771-1850) merupakan salah satu tokoh PAUD di Amerika serikat. Ia termasuk orang yang pindah ke new world. Tahun 1816 ia mendirikan sekolah The Institution for the formation of character di new lanark, scotlandia. Sekolah owen ini dalam beberapa segi memiliki kesamaan dengan sekolah froebel dan pemikiran pestalozzi yaitu menekankan agar anak belajar dari benda-benda konkrit.
Namun dewasa ini secara realita perkembangan itu tidak sebatas di benua Amereka tapi juga d Erofa sampai ke Asean. Hanya saja di tanah air kita pemberian nama PAUD seakan pendidikan baru, sebenarnya namanya saja yang baru. Penulis sempat merasakan pendidikan TK Aisiyah Marabahan.
Untuk lebih banyak kita mengurai dalam masalah PAUD ini, secara singat akan diuraikan dalam materi berikut:

Berbagai Pengertian
Arti Implementasi menurut Anthon M. Muliono (1988; 327) dan Poerwadarminta (1986) adalah:”...sebuah pelaksanaan, penerapan untuk mencari bentuk dalam hasil dari sebuah kesepakatan…”. Tentu saja implementasi diawali dengan perencanaan. Sehingga dalam proses pembelajaran yang diterapkan tentu saja berhubungan erat dengan basis kearifan lokal. 
Arti Kearifan lokal menurut: Norsanie Darlan (2012; 3) dikaji dari asal kata arif, dan  menurut: Hasan Alwi (2002;65) adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara bijaksana, cerdik,  pandai, dan berilmu yang cukup, dengan penuh kehati-hatian…”.  Atau istilah lain:”berarati” Untuk membangunan tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu. Namun tidak perlu memisahkan diri dari adanya budaya lokal. Budaya lokal yang baik, harus kita pelihara searif mungkin.
Arti Pembelajaran ini ada beberapa ahli dalam kesempatan ini, yang membahas tentang apa itu pembelajaran. Arti pembelajaran menurut Warsita (2008:85) “Pembelajaran adalah:”… suatu usaha untuk membuat peserta didik dalam suatu proses kegiatan untuk membelajarkan peserta didik…”.  Dalam U.U Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Kemudian Sudjana (2004:28) yaitu:“…Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar/tutor) yang melakukan kegiatan membelajarkan…”.
Selain hal-hal di atas, berikut Corey (1986:195) membahas tentang: Pembelajaran adalah:”…suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan…”.  Demikian juga menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) Pembelajaran adalah:”…kegiatan guru/tutor secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar…”.  
Dengan memperhatikan pendapat para ahli di atas, bahwa proses pembelajaran sangat memerlukan kearifan lokal. Tidak semua konsep berasal dari luar baik. Tapi juga tidak seluruh konsep lokal yang dominan. Sehingga perpaduan ke 2 hal di atas sangat dinantikan. Agar kearifan masih terpeliharan dengan baik dan lancar.

Arti Karakter
Arti Karakter, menurut: Moeliono (1989; 389) dan Poerwadarminta (1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub (2010) dalam kamus umum bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam bukunya "'Kariama Versus Karakter" mengatakan bahwa karakter adalah:"...merupakan siapa yang sesungguhnya...". Sedangkan karakter dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) adalah:"...dalam menyusun kurikulum bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur dapat dilaksanakan dengan musyawarah dengan WB dan dalam penggunaan metoda pembelajaran yang bersifat partisipatif...". Hal ini menunjukkan kepada kegunaan dan keunggulan suatu produk manusia. Dengan demikian karakter yang dimaksudkan adalah sikap yang jujur, rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan dalam pergaulan. Artinya tidak berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai tenaga  yang dalam jabatan fungsional, tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah hati, berwawasan luas dan bisa mengayomi kepada semua orang. Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi pembangunan masyarakat yang kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal menurut: Hidayat, (2008) bertolak dari:”... konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya tinggi yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin Hidayat (1999: 267) bahwa:”... dalam wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbukukan dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan. Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.

Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal
Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui masyarakat. Oleh karena itu, dalam pembangunan masyarakat berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui  pengkajian terhadap cerita rakyat dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat, seperti: sikap-sikap anti kejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat dalam nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji; nilai kepemimpinan (gubernur/bupati/walikota) yang peduli pada daerah dan rakyatnya; nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan, nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat yang perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat.
Dalam pengkajian kearifan lokal ini sering dimunculkan dalam janji-janji calon pemimpin daerah, saat merangkul perhatian masyarakat. Namun adakalanya janji saat itu tidak terwujud dengan berbagai alasan. Sehingga membuat cederanya kearifan lokal terhadap daerah itu sendiri. 

Festival Budaya Lokal
Berbicara tentang kearifan lokal, tentu tidak jauh dari adanya unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat yang dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya dalam berbagai kegiatan lainnya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.
Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural menurut: Kartodirdjo, (1994) bahwa:”…pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat Kalimantan Tengah. Kesadaran dan ketahanan kultural  menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat yang berbasis kearifan lokal  di bumi Tambun Bungai…”.
Di Kalimantan Tengah sudah jelas terlihat hal-hal di atas, seperti adanya pameran pembangunan, lomba dayung tradisional, menyumpit, dan berbagai pentas budaya lainnya, seperti balogo, bagasing dll. Sebagai budaya lokal, dan kearifan pada PAUD tentu disesuaikan pula pada kondisi usia anak.

Kearifan Lokal Dalam Pilar Pembangunan
Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi kenyataan khususnya dalam dunia pendidikan. keempat hal itulah yang disebut dengan 4 Pilar Pembangunan. Adapun empat pilar pembangunan karena dengan 4 hal ini diharapkan seorang kepala daerah dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal. Sebagai berikut:
Pertama                     : Sumber Daya Manusia (SDM)
Pilar Kedua                : Kebijakan
Pilar Ketiga                : Sistem
Pilar Keempat           : Investasi
Untuk lebih jauh penjelasan ke 4 hal di atas, akan diuraikan secara sederhana dalam uraian berikut ini:

Pilar Pertama: SDM
Mengapa sumber daya manusia (SDM) yang diutamakan? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu pembangunan itu, tentu ini, adalah manusia. SDM seperti apa yang diperlukan? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill).
Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya. Sebaiknya dalam penempatan tenaga kerja tidak harus keluarga dekat. Karena merangkul keluarga ada efek negatif terhadap sudut pandang masyarakat luar. Apakah tidak ada yang lain. Syukur kalau berkualitas. Kalau tidak lihat ke depan, akan menjadi cemoohan banyak orang.
Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena menurut: Hertanto Widodo (2009) adalah:“...tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama terjadinya krisis itu, tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil kebijakan negeri ini…”. 
Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Sebagai bukti banyaknya aparat pemerintahan yang terlibat menjadi perhatian KPK.
Oleh karena itu, sejak awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam aspek moral yang bersih. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua bawahannya. 
Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.
Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Ini salah satu ciri SDM yang berkualitas. Selain itu, dalam menempatkan kebijakan dipendang perlu berwawasan kearifan lokal.

Pilar Kedua: Kebijakan
Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan tertentu.
Kepala daerah antara lain tentunya harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya.
Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas.
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu:
1.pangan;
2.sandang;
3.papan perumahan;
4.pendidikan; dan
5.kesehatan.
Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek.
Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Karena bila pemerintah tidak punya perhatian yang kuat dalam pendidikan, maka dapat pula berdampak terhadap PAUD.

Pilar Ketiga: Sistem
Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat.
Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain:
1.sistem perencanaan pembangunan;
2.sistem pengelolaan keuangan daerah;
3.sistem kepegawaian;
4.sistem pengelolaan aset daerah,
5.sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan
6.pemilihan rekanan,
7.sistem dan standar pelayanan,
8.sistem pengawasan.
Sistem yang dimaksud disini, dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.
Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Pilar Keempat: Investasi
Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan.
Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja.
Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.
Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang diinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan.
Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dan model investasi yang dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut.
Demikianlah empat pilar pembangunan yang dapat dijadikan bekal bagi kepala daerah dalam memimpin daerahnya. Selamat berjuang dalam membangun pendidikan sejak dari anak usia dini.

Melirik Pembangunan Otonomi Daerah
Kebijakan pemberlakuan otonomi daerah membuat, setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD Kita sama maklum dengan pemilihan langsung itu, apakah pihak pemerintah ataukah calon telah mengeluarkan anggaran yang besar.
Penulis berasumsi dengan besarnya biaya yang dikeluarkan, saat pencalonan menjadi kepala  daerah membuat mereka yang terpilih pasti ada usaha untuk mengembalikan modal. Hal ini karena kurang menerapkan kearifan dan rendahnya pengetahuan/pengalaman dalam dunia pemerintahan. Maka sering pula anggaran daerah yang dirugikan. Sehingga menjadi temuan tim Pemeriksa Keuangan dan tidak sedikit pula mereka yang berakhir di kursi pesakitan. Karena anggaran daerah dengan minimnya pengalaman tadi, dianggap sebagai dana pribadi dan tidak tahu membedakan antara dana pemerintah dengan dana pribadi.  
Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.
Setelah lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kembali membawa perubahan besar dalam tatanan pemerintahan daerah.
Dengan terbitnya 2 buah UU di atas menurut: Nihin, (2005;14) bahwa: ”…perubahan yang cepat dimana belum lagi UU 22 1999 berjalan secara penuh dilaksanakan telah diganti UU 32 2004. hal ini tentu beralasan, karena terdapat ketidak jelasan pada bunyi UU-nya sendiri yang menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pemberian otonomi kepada  daerah serta implementasi penyelenggaraannya. Atau terjadinya tuntutan atau penyelenggaraan otonomi yang kebablasan.  Tetapi juga terdapat hal yang justru berlawanan dengan makna otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan…”.

PAUD Naik Panggung
Dalam masa beberapa tahun terakhir, pendidikan anak usia dini naik panggung yang didukung adanya kebijakan sangat berpihak kepada PAUD. Sementara ia berada di lingkungan. pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal. Walau tergolong sangat baru, namun urut sebutannya didahulukan.

Akibat hal itu, Direktorat yang lebih dulu berdiri sepertinya ditinggalkan. Mudah-mudahan akan dapat disusun kembali sesuai dengan seneoritasnya.

1)  Abad 18
Sejarah menulis bahwa PAUD tempo doeloe diIstilahkan "Kindegarden” atau taman kanak-kanak baru dipakai Froebel tahun 1837 pemikiran untuk mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak telah ada jauh sebelum itu. Bebrapa tokoh penting seperti: Martin Luther, Comenius, Pestalozzi, Darwin dan Saguin memberi sumbangan yang tak ternilai untuk menyarankan agar anak laki-laki sebaiknya diberi pendidikan formal. Hal ini didasarkan atas penyataan:  Frost dan Kissinger (1976) bahwa:”... anak laki-laki pada saat itu, merupakan tulang punggung keluarga yang harus mampu menghidupi keluarganya, mendidik, membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Untuk itu  anak laki-laki sebaiknya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ia juga menyarankan agar musik dan olahraga di masukkan dalam kurikulum...”.
Tokoh lain adalah John Comenius (1592-1670) ia menginginkan agar semua anak usia dini ini, mendapat kesempatan belajar di sekolah. Idenya yang cemerlang dan masih dipakai sampai sekarang adalah kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum) dan kurikulum yang memberi kesempatan anak untuk belajar pengalaman langsung. Kurikulum yang terintegrasi tidak memisahkan bidang studi seperti matematika, sains, ilmu sosial, seni dan bahasa.
Charles Darwin (1959) menulis buku tentang The Origin of species dimana ia menyatakan bahwa setiap individu yang adaftif akan survive atau tetap hidup dan melanjutkan keturunannya. Oleh karena itu agar anak bisa tetap hidup maka ia harus berlatih beradaptasi dengan lingkungannya. Disamping itu, para pendidik perlu menyadari adanya perbedaan antar individu yang berdampak pada perbedaan cara belajarnya.
Jean jacques Rousseau (1712-1778) ia menuangkan pikirannya tentang PAUD dalam novelnya Emile. Ia menuangkan pendapat bahwa anak adalah:”...miniatur orang dewasa dan menyarankan agar anak di didik sebagaimana kodratnya...”. Ia berpendapat bahwa pendidikan sebaiknya di sesuaikan dengan usia anak. Menurutnya anak usia lahir sampai lima tahun belajar terbanyak melalui aktivitas fisiknya. Sementara anak usia lima tahun   sampai dua belas tahun belajar melalui pengalaman langsung dan melalui eksplorasi terhadap lingkungannya.

Johann Heinrick Pestalozzi (1747-1827) ia menyarankan:”...agar anak belajar dari benda-benda riil dan rekreasi serta bermain dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan TK. Pendidikan TK pada saat itu lebih bersifat keagamaan...”. Beberapa TK yang tercatat seperti Ammon School di Amerika Serikat dan Orbelin “Knitting Schools” di Francis masih menekankan pada pembelajaran membaca, terutama membaca kitab suci. Oleh karena itu Spondek, (1986) bahwa:”...taman kanak-kanak di amerika dibawah pengawasan tutor dan tes pemahaman anak didasarkan atas tingkat pemahaman...”.

   2)  Abad 19
Salah satu tokoh pendiri taman kanak-kanak yang tenar pada abad ini adalah Friedrich Wilheim Froebel (1782-1852). Froebel pernah belajar pada pertalozzi. Ia mendirikan kindegarten( kinder = anak dan garten = taman) di Jerman pada tahun 1837). Yang menarik dari sekolah froebel ini adalah adanya “gift” dan “occupation”. Gift adalah adanya benda-benda riil untuk sarana belajar anak. Benda tersebut memiliki bangun geometris yang beragam seperti: kubus, prima, bola dan kerucut sedangkan occupation adalah serentetan aktivitas yang urut. Contoh lain adalah: menata balok menjadi suatu bentuk bangunan. Froebel dilahirkan dari keluarga yang religius meskipun tidak sependapat dengan ayahnya yang mengajarkan agama secara dogmatik, konsep pendidikan anak yang ia tawarkan masih diwarnai oleh pemikiran yang religius. Ia berpendapat bahwa manusia merupakan pengejawantahan ide dari tuhan. Oleh karena itu tujuan pendidikan bagi dirinya adalah agar anak dapat memahami kesatuan antara dirinya dengan orang lain, dengan alam semesta dan dengan tuhannya. Ini adalah sebuah konsep yang disebut dengan: Kearifan Lokal dalam pembelajaran.  Tk model froebel ini terus memiliki pengaruh yang besar dan berkembang sampai awal seribu sembilan ratusan. Oleh karena itu, Froebel disebut sebagai Bapak taman kanak-kanak.
Robert owen (1771-1850) merupakan salah satu tokoh PAUD di Amerika serikat. Ia termasuk orang yang pindah ke new world. Tahun 1816 ia mendirikan sekolah The Institution for the formation of character di new lanark, scotlandia. Sekolah owen ini dalam beberapa segi memiliki kesamaan dengan sekolah froebel dan pemikiran pestalozzi yaitu menekankan agar anak belajar dari benda-benda konkrit. Owen lebih menekankan pada kegiatan empiris. Menurutnya ilmu pengetahuan di peroleh dari hasil interaksi anak dengan objek ia juga percaya bahwa sesuatu dikatakan benar bila sesuai dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, ia menyediakan berbagai binatang, tumbuhan serta kunjungan kekebun binatang sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar di TK nya.

Perkembangan PAUD Sekarang
 Kita tahu di Indonesia, Pendidikan Anak Usia Dini menurut: Ramot Hutasoit (2012) adalah:”...masihlah tergolong sistem pembelajaran baru. Namun, perkembangannya cukup cepat dan telah menjadi salah syarat bagi anak usia dini untuk melanjutkan kesekolah dasar...”. Pendidikan Anak Usia Dini ini sangat membantu anak dalam perkembangannya baik jasmani maupun fisik seorang anak. Didalam PAUD anak didik dan dibina agar mereka memiliki kesiapan untuk melanjut ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi yakni Sekolah Dasar. Selain pembelajaran yang diberikan kepada anak, dalam PAUD anak juga bersosialisasi dengan teman sebaya melalui permainan  maupun belajar kelompok.
Melalui Pendidikan  Anak Usia Dini, anak pada zaman sekarang memiliki kemampuan berfikir dan berbicara yang jauh lebih baik dari pada anak pada zaman lampau. Hal ini sangat terlihat jelas di kehidupan kita sehari-hari dimana anak pada zaman ini, sangat cerdas dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan anak pada zaman sekarang sudah mengenal bahasa asing seperti bahasa inggris. Perkembangan sensoris dan motoris anak pada zaman sekarang  juga jauh berkembang lebih pesat dibanding anak-anak pada zaman yang lampau. Pendidikan Anak Usia Dini sungguh telah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan dunia anak.
Memang Pendidikan Anak Usia Dini sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Namun, saat ini para pengajar di PAUD sering kali terlalu memaksakan anak dalam mengerjakan tugas dan membebani anak dengan materi: yang belum saatnya untuk dipahami anak.  Cara pengajar dalam menyampaikan pelajaran kepada anak terkadang terlalu sulit untuk dipahami anak  sehingga anak merasa bahwa sekolah itu bukanlah hal yang menyenangkan. Ketika anak menganggap bahwa sekolah itu tidak menyenangkan, maka ia akan memiliki rasa malas untuk bersekolah dan tidak ingin untuk bersekolah.
Untuk menghindari hal tersebut, makanya  seorang pengajar dapat mengajari anak-anak dengan cara yang lebih santai dan menarik minat anak. Salah satu cara yang baik dan efektif untuk seorang anak dalam proses belajar adalah dengan menyisipkan pelajaran ketika bermain atau bahkan memberikan pelajaran melalui nyanyian dan berbagai hal lainnya. Hal ini dikarena di usia anak-anak, bermain adalah hal yang paling sering dilakukan anak-anak. Sehingga pemberian pelajaran ketika anak bermain akan sangat gampang diterima anak karena anak merasa senang dan tidak tertekan.
Dengan demikian, Pendidikan Anak Usia Dini ini sangat baik diterapkan di Indonesia karena melaluinya anak-anak generasi penerus bangsa akan dibina dan ditempah menjadi anak yang cerdas dalam akademis maupun perilaku. Namun, hendaklah kita juga memperhatikan kesejahteraan anak melalui penyampaian pembelajaran yang  menyenangkan dan tidak memaksa anak. Dan tidak memaksa anak dengan materi yang tidak pada kelompok usia anak. Hal itu tentu berdampak kurang menguntungkan bagi mereka.

Perencanaan Masa Depan Anak

Perencanaan masa depan menurut : Pujianto (2014) adalah:”... hal yang penting, dan lebih baik bila dimulai sedini mungkin...”. Bagaimana mendidik anak Anda untuk merencanakan masa depannya? Di usia balita, seorang anak belum mampu untuk merencanakan masa depannya. Tetapi bukan berarti kita sebagai orang tua tidak dapat mengajarkan mereka untuk mulai merencanakan masa depan mereka. Salah satu yang dapat anda ajarkan di usia mereka adalah dalam mendidik sisi mental dan spiritual mereka, selain menjaga tubuh mereka sehat dan otak mereka cerdas.
Cara-cara untuk mendidik anak anda untuk siap menghadapi masa depannya yang lebih baik adalah sejak kecil mengajar mereka untuk berinteraksi dan bersosialisasi di dunia luar. Mulai dari lingkaran sosial terdekat seperti keluarga, dan perlahan mulai kembangkan dengan mengajak ia berinteraksi dengan teman sebayanya, maupun orang dewasa. Dengan cara ini, seorang anak akan terbiasa untuk bertoleransi dengan orang lain, mempunyai batasan untuk perilakunya (sehingga ia tidak bersikap kasar kepada orang lain), dan pada akhirnya, membantu anak anda untuk mencapai sukses di saat ia mulai dewasa.
Apa yang anda berikan dan ajarkan pada anak anda baik secara fisik, emosi, mental maupun spiritual menentukan apa yang akan mereka terapkam di dalam hidup mereka. Contohnya, bila Anda mengajar anak Anda dengan memberikan banyak pertanyaan untuk membantu kecerdasan otaknya, mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Bila anak Anda diajarkan untuk berdoa bersama Anda dan keluarga, mereka akan menaruh nilai di hal-hal spiritual.
Selain itu, Anda bisa mempersiapkan anak Anda untuk masa depan dengan membangun rasa percaya diri mereka. Untuk ini, sangatlah penting untuk mencoba hal-hal baru bersama. Selesaikan berbagai proyek berdua. Pasang musik yang membangun pada saat Anda bermain dengannya sebagai latar belakang. Perhatikan apa yang anak Anda sukai atau apa yang menarik perhatian mereka dan lakukan bersama-sama, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi anak-anak yang percaya diri dan siap menghadapi hidup.
Pada akhirnya, Anda akan sangat membantu anak Anda merencanakan masa depannya dengan memberikan contoh lewat hidup Anda sendiri.
Bila ia tumbuh dalam keluarga yang selalu merencanakan segala sesuatu dengan rapi, membiasakannya untuk selalu datang tepat waktu baik di pre-school maupun saat berkumpul dengan keluarga dan teman, dan selalu siap untuk segala keadaan, anak Anda pun akan belajar dengan sendirinya untuk selalu merencanakan segala sesuatu sejak dini .
Perkembangan PAUD Masa Datang
Secara prospektif kita sama-sama belajar dari kasus berita di Wonosari (KR)  Selain Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengajar mulai dari TK hingga SLTA nasibnya tidak jelas, ribuan guru PAUD nonformal tingkat kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Sejak bantuan dan Bank Dunia diputus, para guru ini tidak lagi mendapatkan honor tetap, tetapi hanya insentif dari APBN atau APBD yang ada, itupun belum seluruh guru menerimanya.
Seperti yang dialami Maryani, ia salah satu Guru PAUD di Kecamatan Semanu, kini tidak lagi memperoleh insentif dari APBD. Pada 2012 lalu masih memperoleh insentif dari APBD sebesar Rp 100 ribu/bulan. Mulai 2013 lalu, insentif diberikan lewat lembaga PAUD maksimal satu lembaga hanya 3 orang guru.
Hastuti, juga salah satu guru PAUD di Tepus mengaku sama sekali tidak memperoleh insentif dari APBD sehingga menjadi guru PAUD benar-benar hanya berjuang. "Saya paling hanya menerima Rp 25 ribu/bulan dari lembaga PAUD dari  iuran orang tua murid," ujarnya, Selasa (11/6/2012).
Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah, Drs Supriyadi MPd mengatakan, jumlah pendidik PAUD nonformal sebanyak 2.341 orang, dari 720 lembaga PAUD, yang sudah mendapatkan insentif dari APBN baru 400 guru, sebesar Rp 1,5 juta pertahun, sedangkan dari APBD Gunung kidul sebanyak 656 guru masing-masing Rp. 1,2 juta setahun.
Bantuan dari APBN berupa Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk 300 lembaga PAUD besarnya sesuai dengan jumlah anak didik. Bagi yang jumlah anak didiknya kurang dari 15 anak hanya memperoleh Rp 3,6 juta/tahun, 16-25 anak sebesar Rp 6 juta dan lebih dari 30 anak sebesar Rp 7,2 juta/tahun. Sedangkan bantuan untuk insentif sebanyak 400 lembaga.








Semoga rasa duka guru PAUD tidak selamanya demikian. Hal itu, mengharap agar perencanaan pendidikan ke masa depan lebih baik dari masa lalu.

PAUD Berbasis Kearifan Lokal
Bila kita ingin memperhatikan lebih dalam tentang model ini, maka mengemas Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal “Paseng/Pasang” pada Anak Usia Dini sebagai upaya menanamkan nilai-nilai luhur (Alempureng ~ kejujuran; Amaccang/Macca ~ cerdas; Sipakatau ~ saling menghormati) yang dituangkan oleh orang tua (leluhur) kepada generasi-generasi penerus, melalui pendekatan dengan memusatkan kegiatan pada anak yang dikemas melalui permaianan, elong-kelong (lagu-lagu), cerita-cerita/dongeng, serta ungkapan-ungkapan. Nilai-nilai yang patut diterapkan terhadap anak usia dini adalah nilai yang dekat dengan lingkungan anak serta yang mudah difahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari dunia anak adalah dunia bermain, maka nilai-nilai yang dimaksud dikolaborasikan ke dalam program pembelajaran yang dapat dikemas dan diimplementasikan melalui:”... bermain, bernyanyi dan bercerita...”.
Peserta didik adalah anak usia dini yang berusia sekitar 4 s.d 6 tahun dan yang telah bergabung pada Lembaga Pendidikan Anak Usia dini (PAUD). Tenaga Pendidiknya harus professional, memiliki ijazah D-II PGTK dari Perguruan Tinggi yang terakreditasi atau memiliki ijazah minimal SMA/sederajat serta memiliki sertifikat pelatihan/pendidikan/ kursus PAUD yang terakreditasi, memiliki kompetensi Kepribadian, Profesional, Pedagogik, Sosial, serta mampu mengkolaborasikan materi-materi/kegiatan-kegiatan anak yang terkait dengan unsur budaya lokal, baik melalui lagu-lagu, permainan, ungkapan-ungkapan dan cerita-cerita yang dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan. Tenaga Kependidikan dapat direkrut dari Pamong Belajar yang memiliki kompetensi Kepribadian, Profesional, Pedagogik, dan Sosial.  
Metode yang digunakan dalam model ini disesuaikan dengan materi yang akan disajikan, yang pada umumnya menggunakan pendekatan BCCT yang diimplementasikan dalam kegiatan bermain, bernyanyi, dan bercerita.

Penguatan Karakter PAUD
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas).
Penguatan Pembelajaran PAUD adalah kegiatan pembekalan pengetahuan dan peningkatan keterampilan bagi para pendidik PAUD di lembaga PAUD dalam menyelenggarakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini di lembaga PAUD yang dikelolanya.
Tenaga Pendidik yang harus disiapkan adalah seseorang yang memilik kemampuan untuk memberikan pelayanan pendidikan
kepada anak usia dini di lembaga.
Sedangkan Tujuan Penguatan Pembelajaran adalah meningkatkan pema haman dan keterampilan Tenaga Pendidik/Pengasuh di bidang pembelajaran yang tepat untuk anak usia dini

PAUD Kemasa Depan
Pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Implikasi undang-undang itu adalah anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.
Itulah yang di alami oleh seorang guru Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah yang setara dengan sekolah dasar di ujung UTara Kabupaten Magelang karena kebetulan saya mengampu kelas satu.Siswa yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan siswa yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.
Fenomena yang terjadi di Kabupaten Magelang mulai tahun ajaran baru 2007-2008 pemerintah memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Darlan, H.M.Norsanie, 2002. Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Bagi Masyarakat Desa Tertinggal Kawasan Pesisir Pantai, Disertasi Doktor, UPI, Bandung.
------------, 2004. Pluralisme Masyarakat Kalimantan Tengah, Suatu Kenyataan, Makalah Seminar, Palangka Raya.
------------, 2011. Mengenali Pendidikan Karakter Dalam Proses Pengembangan Pembelajaran, FKIP Unpar, Palangka Raya.
------------, 2012. Pembangunan  daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang), seminar Nasional ini, yang beKerjasama antara Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP) Kamis, 2 Agustus 2012,  Ballroom Hotel Aquarius Palangka Raya.

Hidayat, Komaruddin,  1999. “Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani: Telaah Teoritik - Historis”, dalam komunitas, jurnal Pengembangan Masyarakat,  Volume 4, Nomor 1, Juni 1999. Jakarta.

Hutasoit, Ramot, 2012. Perkembangan PAUD Masa Kini, Jakarta.

Moelyono, Anthon, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diknas RI, Jakarta.

Nihin, H.A.Dj., 2005. Pemerintahan Untuk Membawa Kesejahteraan Rakyat, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta.

Pujianto, 2014. Perencanaan Masa Depan Anak. Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta.

Dirjen PAUDNI, 2012. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
           Penguatan PAUD, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Sjamsuri, Leonardo A. 2010. Kariama Versus Karakter, UN, Yogyakarta.
Trisnamansyah, Sutaryat 2010, materi kuliah umum S-1 dan S2 PLS Unpar, Palangka Raya.
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat: Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Sudjana, Djudju, 2004. Pendidikan Non Formal di Indonesia, Al-Falah, Bandung.
Shadily Hassan, 1980. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta.
Widodo, Hertanto, 2009. 4 Pilar Pembangunan Otonomi Daerah, Otonomi daerah net.
 

Mau baca tulisan lainnya, silahkan buka pada alamat : http//norsanie.blogsport.com 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar